Setiap tahun kita merayakan kemerdekaan dengan penuh gegap gempita. Upacara, perlombaan, hingga pesta rakyat digelar hampir di seluruh penjuru negeri. Namun, di balik kemeriahan itu, muncul pertanyaan yang mendasar: sudahkah rakyat benar-benar merdeka?
Kemerdekaan sejati bukan sekadar terbebas dari penjajahan fisik, melainkan kebebasan untuk hidup dengan aman dan sejahtera. Rakyat yang masih hidup dalam ketakutan—baik karena ancaman kriminalitas, intoleransi, maupun kesulitan ekonomi—belum sepenuhnya merasakan arti merdeka. Begitu pula mereka yang masih berjuang melawan kelaparan, kesenjangan, dan ketidakadilan sosial.
Negara hadir bukan hanya sebagai simbol kedaulatan, tetapi juga sebagai pelindung dan penjamin hak-hak dasar warganya. Masyarakat merdeka seharusnya tidak perlu takut kehilangan pekerjaan, tidak cemas akan biaya pendidikan anak, dan tidak risau terhadap harga pangan yang terus melambung.
Kemerdekaan sejati adalah ketika rakyat bebas menyuarakan pendapat tanpa intimidasi, dapat bekerja dan berusaha tanpa monopoli, serta memiliki akses yang sama terhadap pendidikan dan kesehatan. Kemerdekaan berarti memberikan rasa aman di jalanan, di ruang publik, bahkan di ruang digital.
Namun, tanggung jawab ini bukan semata berada di pundak pemerintah. Kemerdekaan juga menuntut partisipasi rakyat dalam menjaga persatuan, membangun solidaritas, dan menghidupkan kembali semangat gotong royong. Tidak ada kemerdekaan tanpa rasa saling percaya dan kepedulian antar warga bangsa.
Delapan puluh tahun Indonesia merdeka adalah usia matang untuk membuktikan bahwa kemerdekaan bukan hanya cerita masa lalu. Kini saatnya kita menegaskan, bahwa tujuan akhir perjuangan bangsa adalah menghadirkan kehidupan yang layak, aman, dan sejahtera bagi seluruh rakyat Indonesia.
Karena kemerdekaan sejati adalah ketika rakyat tidak lagi hidup dengan rasa takut, dan tidak ada seorang pun yang tidur dalam keadaan lapar di negeri yang kaya raya ini.***