Pekanbaru, Populisnews.com - Di tanah gambut yang dulu dipuja sebagai penghasil Sagu terbaik dunia, kini berkecamuk keresahan. Sebuah surat edaran dari Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti melarang warganya menanam kelapa sawit.
Kemerdekaan petani jadi terbelenggu. Ini bukan soal kebijakan, tapi tentang ruang hidup, tentang bagaimana petani memperjuangkan haknya untuk bertahan dan meningkatkan kesejahteraannya.
Surat Edaran Nomor 800/DKPP-SEKRE/143 menjadi pemicu polemik. Dengan dalih menjaga ekosistem dan konsistensi tata ruang wilayah, kebijakan tersebut justru dinilai mengebiri kemerdekaan petani dalam menentukan komoditas unggulan mereka.
“Kenapa masyarakat dilarang menanam sawit? Salahnya di mana?” tanya Khairul Zainal, tokoh masyarakat Meranti yang juga mantan birokrat kepada media ini, Rabu (14/5/2025).
“Kalau alasannya RTRW, itu tak beralasan. Kita harus lihat realitas di lapangan. Petani butuh hasil, bukan slogan,” sambungnya.
Khairul tak menampik pentingnya menjaga kelestarian lingkungan, apalagi di tanah gambut yang rentan. Namun, menurutnya, pelarangan total tanpa solusi alternatif justru menyisakan penderitaan. Sagu yang dijunjung sebagai komoditas unggulan, katanya, tidak cukup menyejahterakan petani.
“Euforia ‘sagu terbaik dunia’ dipertahankan, tapi tak memberi dampak pada kehidupan petani. Buat apa? Perlu digarisbawahi, tanah Meranti bukan hanya soal tanaman apa yang tumbuh, tapi tentang manusia yang hidup dari apa yang mereka tanam,” ungkapnya getir.
Kebijakan Tanpa Partisipasi
Sebagaimana diberitakan beberapa media online, kebijakan yang dikeluarkan tanpa pembahasan di DPRD membuat masyarakat merasa semakin tersisih. Dan Komisi II DPRD Kepulauan Meranti sudah bergerak cepat menyikapi masalah tersebut.
Hearing bersama Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian serta Dinas PUPR digelar pada Rabu (7/5/2025) Pekan lalu dengan tekanan utama, evaluasi segera terhadap surat edaran.
DPRD juga menyoroti lemahnya koordinasi antar lembaga pemerintah dalam menyusun kebijakan yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat. Ketua Komisi II Syaifi Hasan menyatakan, “Ini soal hak rakyat. Tidak bisa sepihak.”
Sementara itu, Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian, Ifwandi, tetap merujuk pada Perda Nomor 8 Tahun 2020 tentang RTRW. Menurutnya, kebijakan larangan menanam sawit didasari perlindungan ekosistem lahan gambut.
Di tengah tarik ulur kebijakan dan protes masyarakat, jalan tengah harus diupayakan. Pemerintah daerah perlu membuka ruang dialog lebih luas dengan petani, DPRD, dan para ahli tata ruang serta lingkungan hidup.
Salah satu solusi adalah peninjauan ulang zonasi RTRW agar ada wilayah tertentu yang diperbolehkan untuk budidaya sawit berkelanjutan dengan prinsip ramah lingkungan.(*)