Jakarta,populisnews.com - Anggota DPR RI Ir Effendi Sianipar mendesak pemerintah pusat menyelesaikan konflik lahan apalagi yang ada kaitannya dengan rakyat.
"Pemerintah harus turun tangan menyelesaikan konflik lahan apalagi yang ada kaitan dengan rakyat. Termasuk konflik lahan Kelompok Tani Manunggal dengan PT Meridan Sejati Surya Plantation (MSSP)," kata wakil rakyat asal daerah pemilihan Riau 1 itu kepada media ini saat ditemui di Gedung Nusantara III DPR RI di Jakarta, Senin (20/11/2023).
Politisi PDIP itu juga berjanji akan komit memperjuangkan kasus konflik lahan Kelompok Tani Manunggal dengan PT MSSP di pusat.
"Saya sebagai anggota DPR RI perwakilan Riau akan selalu komit memperjuangkan masalah [konflik lahan] ini di pusat," tegas Efendi yang sudah dua periode menjadi anggota DPR RI dan sudah banyak berbuat untuk Riau.
Diberitakan sebelumnya, Tim Terpadu Percepatan Penyelesaian Konflik Tanah Adat/Ulayat di Provinsi Riau mengadakan rapat tindak lanjut permasalahan pertanahan di Provinsi Riau.
Rapat ini dihadiri oleh berbagai pihak, termasuk BPN Provinsi Riau, Dinas Kehutanan Provinsi Riau, Dinas Perkebunan Provinsi Riau, Pemda Siak, Kelompok Tani Manunggal Desa Kerinci Kanan Kecamatan Kerinci Kanan, Kabupaten Siak, dan pihak perusahaan PT. Meridan Sejati Surya Plantation (PT. MSSP) anak perusahaan Surya Dumai Grup milik konglomerat Martias.
Dalam rapat yang berlangsung di Kantor Gubernur Riau pada Kamis (9 /11/2023) tersebut, dibahas mengenai luas lahan Kelompok Tani Manunggal yang dikuasai oleh PT. MSSP tanpa adanya ganti rugi seluas 724 hektar. Padahal Kelompok Tani Manunggal memiliki Surat Keterangan Pemilikan Tanah yang dikeluarkan pada tahun 1994, 1995, dan 1996, yang ditandatangani oleh Kepala Desa dan diketahui oleh Camat.
Disampaikan B Anton Situmorang selaku kuasa hukum kelompok tani Manunggal dalam rapat ini Kepala BPN Provinsi Riau Asnawati SH mengatakan bahwa lahan kelompok Tani Manunggal berada diluar HGU PT MSSP. Padahal dalam peta sangat jelas terlihat berada dalam HGU.
"Atas dasar apa Kepala BPN Riau menyatakan lahan klien kami berada di luar HGU. Ini patut kami pertanyakan," ujar Anton.
Legal Opinion Ahli Pertanahan
Menyikapi masalah ini ahli pertanahan Dr Dayat Limbong SH Mhum mengemukakan pendapatnya. Menurut Limbong, penguasaan tanah oleh masyarakat di Desa Meredan, Kerinci Kiri, dan Kerinci Kanan, Kecamatan Siak Kabupaten Siak, Propinsi Riau dengan surat Keterangan Kepala Desa dapat digunakan sebagai bukti tertulis sesuai dengan Pasal 76 ayat (3) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun1997.
Dimana pada huruf b disebutkan bahwa keterangan dari Kepala Desa/Lurah dapat digunakan sebagai alat pembuktian pemilikan atas bidang tanah.
Kemudian, penguasaan tanah oleh pihak PT.Meridan Sejati Surya Plantation (PT. MSSP) sebelum terbitnya lzin Lokasi merupakan tindakan yang menyalahi ketentuan perundangan sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun1993,Peraturan Menteri Negara Agraria/KBPN No. 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi,dan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/KBPN No. 17 Tahun 2019 Tentang Izin Lokasi.
Selanjutnya, sambung Limbong, penerbitan sertifikat hak atas tanah yang masih terdapat penguasaan pihak lain pada tanah tersebut menyebabkan sertifikat hak atas tanah menjadi cacat hukum administrasi sesuai pasal 107 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan.
Demikian pula pada pasal 35 Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan Dan Penyelesaian Kasus Pertanahan Bahwa kesalahan tersebut diatas merupakan cacat administrasi dan/atau cacat yuridis yang mengakibatkan pembatalan sertifikat hak atas tanah.
Terakhir, kata Limbong pengembalian tanah yang diserobot pihak lain yang menguasai tanah tanpa hak wajib dilakukan pengembaliannya kepada yang berhak sebagaimana ditegaskan Dalan Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor:10424 tanggal 10 Pebruari 1999 yang ditujukan kepada Gubernur KDH Ibu Kota Jakarta, Bupati, Kepala Kanwil BPN Propinsi dan Para Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya.
Mafia Hukum
Sementara, kuasa hukum Kelompok Tani Manunggal, B Anton Situmorang SH menegaskan bahwa Kelompok Tani Manunggal telah melakukan upaya hukum terkait masalah ini.
Mereka mengajukan gugatan perdata pada tahun 1999 dan 2005 di Pengadilan Negeri Bengkalis. Namun, upaya hukum mereka tidak memperoleh hasil yang diharapkan. Pada tahun 2006, mereka juga mengajukan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali (PK), namun upaya ini lagi-lagi tidak membuahkan hasil.
"Putusan ini tidak memberikan keadilan bagi klien kami [Kelompok Tani Manunggal]. Meski kami tetap menghormatinya. Namun kami tidak akan menyerah begitu saja. Kasus ini akan terus kami perjuangkan dengan bukti bukti atau novum yang kami miliki," ungkap Anton kepada media, Senin (13/11/2023).
Atas tindakan sewenang-wenang PT MSSP pada tahun 1999 Kelompok Tani Manunggal melalui kuasa hukum B Anton Situmorang SH mengajukan Gugatan Perdata di Pengadilan Negeri Bengkalis, dengan Nomor : 06 / Pdt.G/1999/ PN/BKS. Sidang putusan tertanggal 20 April 2000.
Kemudian pada tahun 2005 Kelompok Tani Manunggal kembali lagi mengajukan gugatan perdata, dengan nomor : 16 /Pdt.G/2005/PN.Bengkalis dan putusannya Ne bis In iderm.
Terkait Putusan Pengadilan tersebut diatas, Kelompok Tani Manunggal berpendapat Putusan Pengadilan tersebut sarat dengan praktek Mafia hukum / Mafia Peradilan, khususnya Putusan Upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali.
"Putusan ini sarat dengan praktek mafia hukum atau mafia peradilan. Kami akan terus menyuarakan ini untuk mendapatkan keadilan bagi klien kami Kelompok Tani Manunggal," kata B Anton Situmorang.
Kelompok Tani Manunggal kata Anton akan kembali melakukan upaya hukum PK. Adapun dasar yang diajukan sebagai bukti baru (Novum) dalam PK nanti salah satunya berupa surat Team Inventarisasi Pembantu Okupasi PT. Meridan Sejati Surya Plantation Kebun Sei Pingai tertanggal 10 Agustus 2000.
Menurut Anton didalam surat tersebut dijelaskan, bahwa data sisa Okupasi yang belum dibebaskan s / d Agustus 2000 seluas 1790, 25 Hektar, dan menyebutkan termasuk lahan Kelompok Tani Manunggal.
Surat ini menjelaskan bahwa lahan kelompok Tani Manunggal belum dibebaskan atau diganti rugi. "Namun Majelis hakim Peninjauan Kembali menolak upaya hukum Kelompok Tani Manunggal. Ada apa," ujar Anton.
Anton juga mengungkapkan bahwa saat Kelompok Tani Manunggal mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali ada oknum Pengadilan meminta uang sebesar Rp. 1 Milyar jika ingin gugatan masyarakat tersebut dikabulkan, namun masyarakat tak mampu memenuhinya yang akhirnya gugatan mereka ditolak.
"Ini membuktikan mafia persadilan atau mafia hukum masih marak terjadi di Negara yang katanya Negara Hukum. Dimana moral oknum penegak hukum kita ketika masyarakat menuntut keadilan?" ujar Anton setengah bertanya.
Gugat ke PTUN
Ketika dimintai tanggapannya terkait konflik PT MSSP dengan Kelompok Tani Manunggal, akademisi Dr Suhendro SH MHUM mengatakan jika sudah terlanjur nebis in idem upaya PK tidak bisa diharapkan.
"Jika Pengadilan sudah mengeluarkan putusan nebis in idem maka upaya PK tidak bisa diharapkan. Harus dihormati," kata Suhendro, Senin (20/11/2023).
Namun, upaya hukum lainnya masih bisa dilakukan melalui jalur PTUN. "Jika benar PT MSSP punya HGU, menurut saya harus digugat lewat PTUN supaya dibatalkan. HGU itu kan produk pejabat dalam hal ini Kepala Kantor Pendaftaran Tanah/BPN," tukasnya.(*)