Pekanbaru,populisnews.com – Dialog kebangsaan bertajuk “Membedah Perkebunan Sawit dalam Kawasan Hutan Ditinjau dari Perpres No. 5 Tahun 2025 dan Keberadaan PT Agrinas” yang digelar Forum LSM Riau Bersatu, Kamis (4/12/2025) berlangsung hangat dan penuh kritik. Para peserta tampak antusias menyimak paparan dari para narasumber yang dikenal vokal dan memahami persoalan kehutanan serta agraria di Riau.
Narasumber pertama, Prihadi Agus Rianto, memantik suasana dengan pernyataan keras mengenai maraknya perusakan hutan yang melibatkan oknum aparat dan pemodal besar.
"Yang berbahaya itu aparat yang jadi keparat. Ini yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Aparat ikut bermain bersama oligarki dalam menjarah hutan," tegas Prihadi di hadapan peserta.
Sementara itu, pembicara kedua Abdul Aziz membahas kondisi Bentang Alam Tesso Nilo (Tesso Nilo Landscape) serta nasib masyarakat yang menjadi korban penertiban Satgas Penanganan Kawasan Hutan (PKH) di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN).
Aziz menuturkan bahwa sejak 2009, sebagian lahan bekas HPH PT Nanjak Makmur seluas lebih dari 44 hektare telah dikelola masyarakat. Namun setelah penetapan tata batas kawasan, lahan-lahan tersebut tidak di-enclave sehingga menyudutkan masyarakat.
"Ketika tata batas diberlakukan, lahan masyarakat tidak di-enclave. Harusnya dilakukan proses mengeluarkan lahan masyarakat, permukiman, atau fasilitas umum yang sudah lebih dulu ada, dari kawasan hutan yang baru ditetapkan," ujar Aziz.
Ia juga mengungkapkan bahwa pada 10 Juli 2025, Satgas PKH telah mengambil alih 81.793 hektare kawasan TNTN. Sementara masyarakat sekitar diminta melakukan relokasi mandiri sebelum 20 Agustus 2025. "Tindakan tersebut telah membuat resah masyarakat di sana," lanjut Aziz.
Narasumber lainnya, Fauzi Kadir, turut menyoroti ketidakadilan dalam penataan kawasan. Ia mempertanyakan mengapa perusahaan bisa mendapatkan ruang enclave, sementara masyarakat adat justru diabaikan.
"Kenapa perusahaan bisa di-enclave, sementara masyarakat adat tidak? Sehingga masyarakat dianggap menempati kawasan hutan secara ilegal. Ini menjadi persoalan besar. Karena masyarakat yang hidup di sekitar hutan tidak pernah diperhatikan. Dan ini sebagai bentuk ketidakadilan atau keberpihakan pemerintah terhadap pemodal besar," tegas Fauzi.
Menurutnya, berbagai regulasi terkait pengelolaan hutan tidak jarang lahir dari kepentingan kelompok tertentu. "UU yang dibuat tak lebih dari hasil pesanan para oligarki," kritiknya.
Dialog tersebut menjadi ruang refleksi sekaligus ajang kritik terhadap kebijakan perkebunan sawit dalam kawasan hutan, implementasi Perpres No. 5 Tahun 2025, serta keberadaan PT Agrinas yang belakangan menjadi sorotan publik.(*)

