Refleksi tentang Ketahanan dan Aplikasi Ilmu Komunikasi di Dunia Nyata

Refleksi tentang Ketahanan dan Aplikasi Ilmu Komunikasi di Dunia Nyata
Rudi Rahman, S.I.Kom., M.I.Kom

“Jika kalian ingin menyerah, menyerahlah. Saya tidak punya kata-kata motivasi.” Itu kalimat yang kerap saya sampaikan di ruang kelas, bukan untuk mematahkan semangat, tetapi untuk menegaskan bahwa hidup tidak menuntut kita untuk selalu kuat, namun untuk tetap bertahan. Saya percaya, setiap mahasiswa pada dasarnya memiliki daya juang, hanya saja sering kali tertutup oleh rasa takut gagal dan keinginan untuk mencari jalan yang mudah.

Dalam dunia pendidikan tinggi, kesulitan bukan sekadar beban, tetapi bagian dari proses pembentukan karakter akademik. Mahasiswa bukan hanya diuji dalam hal kecerdasan kognitif, tetapi juga ketahanan emosional dan kemampuan menerapkan ilmu dalam konteks nyata. Di sinilah letak makna sejati dari pendidikan tinggi: bukan pada nilai semata, melainkan pada transformasi diri yang lahir dari tantangan.

Saya menyaksikan hal itu secara langsung melalui media yang memberitakan kegiatan Workshop Agroforestry Budidaya Tumpang Sari Kopi di Kebun Sawit. Dalam kegiatan tersebut, tiga mahasiswa Universitas Hang Tuah Pekanbaru, Puja Aprilia, Suci Rahmadani, dan Sandi, menunjukkan bagaimana ilmu komunikasi dapat hidup dan berdampak nyata.

Puja dan Suci tampil percaya diri sebagai master of ceremony (MC) sepanjang acara. Mereka tidak sekadar membacakan susunan kegiatan, tetapi mampu mengelola suasana, menjaga dinamika, dan menghadirkan energi positif yang membuat peserta tetap bersemangat hingga akhir. Sementara itu, Sandi, yang bertugas sebagai operator, bekerja dengan tenang dan profesional, memastikan seluruh rangkaian teknis berjalan lancar.

Keberhasilan mereka bukanlah kebetulan. Ia lahir dari disiplin, keberanian, dan ketangguhan dalam belajar serta menerapkan ilmu komunikasi di lapangan. Dalam setiap intonasi, interaksi, dan koordinasi, mereka membuktikan bahwa komunikasi bukan hanya teori di ruang kelas, melainkan keterampilan hidup (life skill) yang menghubungkan ilmu, emosi, dan tanggung jawab sosial.

Mereka ini menjadi pengingat bahwa ketahanan diri tidak selalu diwujudkan dalam bentuk spektakuler, tetapi dalam kemampuan untuk konsisten, beradaptasi, dan memberikan kontribusi nyata di mana pun berada. Mereka adalah bukti bahwa kesungguhan dan dedikasi akademik akan menemukan panggungnya sendiri, bahkan di tengah tantangan yang sederhana.

Seperti halnya api yang menguji kemurnian emas, kesulitan dan tanggung jawab menguji kemurnian niat seorang mahasiswa. Ketika seseorang memilih untuk bertahan dan berproses, ia sedang menempuh jalan menuju kedewasaan akademik dan profesional. Tragedi sejati dalam pendidikan bukanlah kegagalan atau nilai rendah, tetapi potensi yang dibiarkan menguap karena enggan berusaha.

Dalam perspektif growth mindset (Dweck, 2006), kesuksesan bukan ditentukan oleh bakat semata, melainkan oleh keyakinan bahwa kemampuan dapat dikembangkan melalui ketekunan dan kerja keras. Semangat inilah yang saya lihat pada Puja, Suci, dan Sandi—mereka menolak menyerah, memilih untuk tumbuh, dan dengan caranya sendiri telah menjadi motivator bagi rekan-rekan lainnya.

Maka, kepada seluruh mahasiswa, ingatlah: risiko terbesar bukanlah melangkah salah, tetapi tidak melangkah sama sekali. Pendidikan sejati bukanlah tentang siapa yang tercepat, tetapi siapa yang tetap berjalan meski jalannya menanjak. Karena suatu hari nanti, kedisiplinan dan keberanianmu hari ini akan menjadi alasan untuk tersenyum di masa depan.***

Penulis adalah Dosen Komunikasi di Universitas Hangtuah Pekanbaru

Berita Lainnya

Index